“Potong bebek angsa, masak di kuali. Nona minta dansa, dansa empat kali...” Kira-kirapendidikan karakter seperti apa yang diperoleh seorang anak, ketika lagu seperti ini diajarkan disekolah-sekolah Islam?
Tentunya masalah. Bisa jadi ketika dewasanya menjadi seorang nona yang agresif. Tidak berbeda jauh dengan lagu-lagu anak lainnya. “Seperti lagu, ‘Matahari tenggelam, hari mulai malam.’Kalau hari mulai malam kan magrib, harusnya azan. Tapi yang terdengar di lagu itu suara burung hantu,” kata Sigit Baskara mengawali perbincangan.
Menjelang petang beberapa waktu lalu, tim majalah Swadaya berkesempatan bersilaturahimdengan Sigit Baskara di kediamannya. Musisi kenamaan dari Yogyakarta ini, memulai perbincangan mengenai tekadnya dalam berkiprah di dunia seni suara, khususnya lagu anak-anak.
Sejak 2004, lelaki kelahiran 19 Juli 1972 ini memutuskan fokus menggarap lagu anak-anakberkarakter islami. Untuk itu, dia harus merelakan jabatan sebagai wakil kepala sekolah disebuah SMK swasta di Yogyakarta. “Tidak mudah ya, banting stir dari yang semulanya digajitetap sebagai guru sekitar 12 tahun,” ujar Sigit. Namun panggilan jiwanya yang prihatin terhadap kondisi musik anak-anak, membuat Sigit berani mengambil keputusan tersebut.
Berawal dari “Senandung Doa”
Alumni pendidikan teknik mesin UNY itu, menyadari banyak lagu anak-anak yang beredar disekolah formal tidak konsisten, bahkan berlawanan dengan hukum-hukum alam (ilmiah). Iamenunjuk salah satu contohnya, yaitu lagu “bintang kecil di langit yang biru.” Dan hal itu belumditambah dengan ‘keterpaksaan’ anak-anak untuk mengonsumsi lagu orang dewasa. Betapa sebenarnya mereka teraniaya.
Sigit kemudian berpikir, mengapa tidak membuat lagu yang bersumber dari al-Quran dan hadis.Karena ia yakin sumber dari segala sumber ilmu bagi kaum muslimin adalah al-Quran dan hadis.Pada 2004, muncullah album lagu anak-anak pertamanya bertajuk Senandung Doa. Album iniberisi doa sehari-hari yang dinyanyikan dalam bentuk musik edukatif. Waktu itu, untuk wilayahYogyakarta terjual 14 ribu copy. Master albumnya pun dibeli oleh produser dari Royal Prima Musikindo, Jakarta.
Berkat keberhasilan album Senandung Doa, ayah tiga anak ini kemudian memberanikan dirimembuka studio rekaman. Sederhana, namun studio itu telah menelurkan tujuh album lagu anak,yang tiga di antaranya beredar secara resmi pada lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah.Bahkan beberapa sekolah Islam terkemuka di Jakarta, juga menggunakan lagu-lagu karyanya sebagai media dalam mengajar.
Sakit Berkepanjangan
Dalam perjuangannya itu, Sigit diberi ujian sakit komplikasi yang berat. Ia sempat tidak mampuberjalan, dan kesulitan bangun dari tempat tidur. Bahkan, untuk duduk salat pun harus berjuangkeras, sampai ia merasa bosan bertemu dokter. Namun bagi suami Susanti ini, tidak ada alasan berputus asa.
Selama masa penyembuhan, Sigit berubah haluan. Sebelumnya, ia menggaet anak-anak juaramenyanyi dari sekolah-sekolah ternama untuk mengisi suara di album terdahulu, kini beralihmencari anak-anak dari sekolah marjinal/terpinggirkan. Sigit memotivasi mereka agar bisaberprestasi. Tidak kalah dibanding anak-anak yang berlimpah fasilitas mewah dari orangtua dan sekolahnya.
Lewat upayanya tersebut, lahirlah The Q yang dikenal dengan suara merdu Dona. Seorang gadiscilik asal Sukabumi, Jawa Barat. Dona telah menetap di Yogjakarta sejak usia lima tahun,setahun setelah ibunya meninggal. Lagu yang dinyanyikan Dona yang diunggah di Youtube,sebagian penontonnya berasal dari negeri jiran.
Berjihad Multi Dimensi
Anak pertama dari empat bersaudara ini, mengibaratkan seandainya anak-anak Palestina dibantaidi depan mata kita, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kira-kira seperti itu yang sedangberlangsung terhadap anak-anak di Indonesia, yakni pembunuhan karakter. Lebih mendasar, tapi jauh lebih mudah dilakukan.
“Cobalah kita buat lagu bagaimana beras dibuat. Bagaimana proses beras ditanam, proses guladitanam. Karena anak kita kalau ditanya sekarang, dari mana gula berasal? Jawabannya dariminimarket,” seloroh Sigit.
Indonesia tidak memiliki pertahanan budaya. Kezaliman atau penghancuran karakter terjadisepanjang hari. Menciptakan masyarakat konsumtif dan kapitalis. Karena itu, hampir seluruhalbum yang diproduksinya ia kerjakan sendiri. “Sampai membuat video klip danmengunggahnya di Youtube,” kelakarnya.
Sigit berkarya hanya bermodalkan dukungan keluarga. Ia tak sanggup jika harus membayarpekerja profesional. Di zaman sekarang ini, tidak ada orang yang mau bekerja tanpa digaji.Kondisi tersebut beriringan dengan kebingungan para produser dalam menjual VDC, yang makinhari makin tak laku.
Oleh sebab itu, ia mencoba lebih mengarahkan anak didiknya di Pondok Pesantren Duha(Dukung Harapan Indonesia), ke bidang multimedia. Meskipun ia tetap tidak membatasi potensimasing-masing anak, di sekolah gratis yang baru setahun didirikan dengan dukungan para donatur.
“Sekarang tidak harus pegang senapan mesin kalau berjihad. Coba lihat peperangan di internet kayak apa? Kita coba membangun cara pandang baru, bahwa berjihad fisabilillah itu sekarangsudah multi dimensional. Kalau ada para mujahid yang berani mengorbankan nyawanya, kenapakita tidak bikin mujahid-mujahid yang pegang kamera, misalnya?” ujar Sigit bersemangat.
Berdakwah Kultural
Sebagai anggota Muhammadiyah, Sigit pernah menanyakan solusi atas kerusakan budaya saat inikepada Khoirul Umam, yang ketika itu menjabat ketua bidang seni dan budaya organisasiMuhammadiyah. “Ya, dakwah kultural saja. Nggak bisa hanya diseminarkan terus-menerus,” ujarSigit menirukan jawaban yang didapatnya.
Ibarat kisah Mahabharata, ketika terjadi kezaliman di depan Yudistira, Bima, dan lakon lainnya,tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Begitulah Indonesia. Kita punya banyak profesor danorang-orang hebat di bidang musik, tapi tidak bisa berbuat banyak. Kalau dalam Mahabharatapersoalannya selesai setelah Krisna turun tangan, seharusnya tidak dengan kita.
Kita bisa mengerjakan dakwah kultural yang bermakna, apabila setiap kreator atau setiap potensiumat Islam itu diberikan dorongan untuk berkarya. Apa pun karyanya, baik buku maupun VCDd iproduksi sebanyak dan sesering mungkin, kemudian disebarkan. Hanya dengan begitu, kitabisa mengimbangi produk-produk yang dahsyat sekali membunuh karakter anak-anak.
“Gambarannya, kalau Amerika berani menginvestasikan dana yang besar untuk membuatHollywood, Cina di Shanghai, India dengan Bollywood, Indonesia punya apa? Nggak ada,” kata Sigit.
Menurutnya, kondisi seperti itu harus diubah. Kurikulum pendidikan atau semua pelajaran senidan budaya yang masuk ke sekolah, harus diverifikasi dengan kebudayaan bangsa yangberkarakter. Jangan dibiarkan pendidikan generasi masa depan hancur karena keteledoran kitasendiri. Lebih-lebih pendidikan dasar, seperti PAUD dan TK, yang masih sangat muda dan mudah dicemari.
“Ayo mereformasi lagu anak-anak nasional!” ujar Sigit mengajak semuanya berperan serta.Tidak hanya orang-orang yang hebat di bidang musik, tapi para guru TK dan PAUD juga janganhanya menjadi pengguna. Karena lagu untuk anak-anak sebenarnya lebih baik dibuat gurunya sendiri.
Khusus bagi para orangtua, Sigit berpesan agar lebih berhati-hati memberikan asupan musikkepada anak-anaknya. Walaupun terdengar enak, tapi tetap cermati isi liriknya. Kalau perlu paraorangtua/ibu mencari lagu-lagu yang baik untuk anaknya. Termasuk dalam menonton sinetron.Sinetron ibarat rokok. Hati-hatilah terhadap anak-anak yang menjadi “perokok pasif” dari tontonan sinetron.
Sumber: Majalah Swadaya. Penulis:Isa Hakari
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Berjuang-Mereformasi-Lagu-Anak-anak
Posting Komentar