Membincang masyarakat rabbani berarti membincang sekumpulan individu yang bernilai dan berkarakteristik serupa. Yakni mengimani Allah sebagai rabb (tuhan) dan menolak thagut (sesembahan selain Allah). Kumpulan individu ini kemudian diikat oleh kalimat tauhid, la illah ha illallah. Implikasinya, mahabbah danwala’ (cinta dan loyalitas) diperuntukkan untuk Allah dan ber-baro (melepaskan diri) dari segala macamthaghut.
Kita pun dapat menyebutkan bahwa masyarakat rabbani adalah masyarakat yang menjadikan tauhid sebagai awal dan akhir dalam perjalanan hidupnya. Sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim dalam kitab Nuniyahnya,“Untuk Yang Satu, jadilah yang satu, di atas yang satu.”
Bila dijabarkan perkataan dari ulama karismatik ini adalah “untuk yang satu”, yaitu untuk Allah semata, bukan untuk illah-illah selain-Nya. Adapun “jadilah yang satu”, yakni dalam mengarahkan maksud dan keinginan hati hendaknya “di atas yang satu”, yaitu di atas satu jalan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Satu jalan (Islam), satu tujuan (ibadah kepada Allah), dan satu sesembahan (Allah SWT). Inilah karakteristik dari masyarakat rabbani atau masyarakat bertauhid.
Satu Jalan, Satu Tujuan, Satu Sesembahan
Namun, sejarah mencatat bahwa membentuk masyarakat rabbani tidak sederhana seperti mendefinisikannya. Satu jalan, satu tujuan, satu sesembahan mudah untuk diikrarkan, tapi teramat pelik ketika dipraktikkan. Khusus dimensi personal (pribadi), mungkin saja ikrar ‘satu jalan, satu tujuan, satu sesembahan’ mudah diamalkan. Tapi, ketika ikrar tauhid itu diletakkan dalam dimensi sosial dan politik, maka pengamalannya menjadi lebih sulit.
Padahal kita tahu bahwa tauhid tak hanya memiliki dimensi pribadi, tapi juga mencakup dimensi sosial dan politik. Keimanan tidak boleh dibatasi hanya seputar aktivitas peribadatan (maulud, hajatan penikahan, dan lain-lain), ibadah ritual keagamaan (salat, puasa, haji, dan sebagainya), hukum fikih (yurisprudensi Islam), serta beragam dogma teologis. Keimanan harus bersifat holistik dengan merengkuh dimensi sosial dan politik dalam bingkai tauhid.
Tauhid tak hanya bicara tentang bagaimana seseorang saleh secara pribadi, namun juga harus saleh secara sosial. Ada pun saleh secara sosial dapat teraktualkan secara sempurna ketika orang tersebut ada dalam masyarakat rabbani. Masyarakat yang tunduk kepada aturan-aturan dari Allah. Bukan sebaliknya, tunduk dan mengekor pada aturan-aturan buatan manusia.
Hal inilah yang menjadi titik temu mengapa dakwah para nabi tidak hanya menyoal membentuk pribadi-pribadi manusia yang murni tauhidnya. Tetapi juga merambah kepada bagaimana membentuk masyarakat (dimensi sosial) dan peradaban (dimensi politik) yang tercelup aturan-aturan Rabb semesta Alam. Tidak mengherankan bila kisah-kisah para nabi yang diceritakan dalam Quran selalu berkonfrontasi dengan penguasa-penguasa zalim seperti Namrud atau Firaun. Simbol dari thagut yang mengambil hak Allah untuk disembah dan ditaati.
Meniti Jalan Masyarakat Rabbani
Lalu, bagaimana kondisi umat saat ini? Masihkah eksistensi masyarakat rabbani berdiri kokoh? Bila kita berkaca pada sejarah dan mau jujur mengakuinya, secara kasat mata tidak ada masyarakat rabbani seperti masa Rasulullah dan belasan abad setelahnya. Khususnya, sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada awal abad ke-20, sejak itu pula umat Islam tercerai-berai tanpa satu kepemimpinan.
Masyarakat rabbani hanya ada dalam tataran tertulis, tapi nihil dipraktikkan. Umat dipimpin oleh penguasa zalim dan mengacuhkan aturan Allah. Namun, bukan berarti eksistensi dari masyarakat rabbani jadi sirna. Ibarat siklus matahari, ada masa ia terbit dan terlihat jelas oleh mata. Ada masanya pula ia tengggelam dan hilang ditelan gelapnya malam, tapi bukan berarti eksistensi matahari itu ikutan pupus. Nah, seperti itu pulalah kondisi sejatinya masyarakat rabbani saat ini.
Beragam upaya dilakukan oleh umat Islam untuk meniti kembali jalan mewujudkan masyarakat rabbani. Ragam cara pun dilakukan, mulai dari pendekatan akhlak, penegakan daulah atau khilafah, pembenahan akidah, dan usaha lainnya. Manakah dari upaya-upaya ini yang efektif? Jawabnya, jalan yang pernah ditempuh oleh Rasullah saw pada 14 abad silam. Jalan menjadikan tauhid sebagai prioritas pertama dan utama dalam berdakwah (jalan tauhid). Tentunya tanpa mengabaikan aspek keagamaan laiannya, seperti ibadah, akhlak, dan muamalah.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulallah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia (Rasulallah) banyak menyebut nama Allah.” (QS. al-Ahzab [33]: 21)
Jika tauhid yang murni telah terealisasi dalam kehidupan, baik secara individu (pribadi bertuhid) dan bermasyarakat (masyarakat rabbani), insya Allah akan mengantarkan pada keridaan Allah dunia akhirat.Wallahu ‘alam bi shawab. (Suhendri Cahya Purnama)
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Masyarakat-Rabbani-Kabarmu-Kini
Posting Komentar