Abu Thalhah adalah salah seorang sahabat Nabi yang amat beruntung. Ia memiliki kehidupan keluarganya yang sakinah. Istrinya bernama Rumaisah atau lebih dikenal dengan Ummu Sulaim. Tidak hanya cantik, Ummu Sulaim juga salehah dan cerdas. Kedua pasangan tersebut dikaruniai seorang anak yang semakin melengkapi kebahagiaan keluarga ini.
Namun demikian, jika selalu berkumpul di rumah untuk menikmati kebahagiaan tidaklah mungkin. Seorang suami harus keluar dari rumah untuk mencari nafkah yang juga menjadi tanggung jawab dan bukti cintanya kepada keluarga. Bahkan, dalam situasi yang mendesak pun tetap harus ia lakukan.
Suatu ketika, anak semata wayang yang mereka cintai jatuh sakit, sementara Abu Thalhah harus keluar rumah untuk mencari nafkah. Jika tidak keluar rumah, ia tidak akan mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Karenanya, meskipun terasa berat, Abu Thalhah tetap pergi untuk melaksanakan kewajibannya itu. Ketika sore hari, anaknya yang sakit itu akhirnya meninggal dunia.
Duka amat dalam dirasakan oleh Ummu Sulaim. Ia mengucurkan air mata hingga terasa kering tidak tersisa lagi. Hari pun mendekati malam, ini berarti suaminya akan segera pulang. Ummu Sulaim tidak ingin suaminya yang pulang dalam keadaan lelah harus berhadapan dengan kesedihan mendalam. Untuk menyambut kepulangan suaminya, Ummu Sulaim memindahkan jenazah anak yang dicintainya itu ke kamar khusus.
Ia lalu menyembunyikan kesedihan di wajahnya dengan sedikit bersolek dan bergembira menyambut kepulangan sang suami. Layaknya seperti tidak ada masalah apapun. Kepulangan Abu Thalhah benar-benar disambutnya dengan gembira.
Saat Abu Thalhah bertanya tentang keadaan anaknya, Ummu Sulaim menjawab bahwa sang anak sedang beristirahat, bahkan lebih tenang dari biasanya. Abu Thalhah tentu merasa bersyukur. Makan malam yang lezat sudah dihidangkan oleh istri yang amat dicintainya itu. Selesai makan malam, Ummu Sulaim dengan wajah bersinar gembira mengajak sang suami bercengkrama.
Ia tiba-tiba bertanya kepada suaminya. “Suamiku, apabila ada orang menitipkan sesuatu kepada kita, sesuatu itu apakah milik kita ataukah bukan? Padahal kita amat menyenangi sesuatu itu?”
“Tentu saja itu bukan milik kita,” jawab Abu Thalhah dengan tegas. Ummu Sulaim melanjutkan pertanyaannya. “Jika sesuatu itu diambil oleh yang punya,
bagaimana?”
“Tidak apa-apa, hak orang itu untuk mengambilnya karena memang hal itu miliknya,”
jawab sang suami.
“Bila sesuatu itu adalah anak kita, apakah ia milik kita atau titipan?” kembali Ummu
Sulaim bertanya.
Sampai di sini, Abu Thalhah merasa curiga dengan pertanyaan istrinya itu. Karenanya ia pun lalu bertanya, “Apa sebenarnya maksud pertanyaanmu itu istriku?”
“Kalau menyadari bahwa anak kita adalah titipan Allah SWT, maka Ia telah mengambilnya. Anak kita telah wafat menjelang maghrib tadi,” jawab Ummu Sulaim. Kabar yang disampaikan oleh Ummu Sulaim membuat Abu Thalhah tertegun cukup lama. Rasa sedih begitu besar dirasakannya. Namun, rasa tersebut tidak membuat Abu Thalhah lupa diri dan bersabar menerima takdir yang telah Allah tetapkan. Salah satu sebab karena sang istri begitu pandai menyampaikan berita sedih itu tanpa melukai perasaan suaminya.
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/ummu-sulaim-dan-kisah-menggetarkan-hati
Posting Komentar