Menyoal jilbab atau hijab bukan hanya berkisar selembar kain penutup aurat. Hijab sesungguhnya menunjukkan bukti ketaatan seorang hamba kepada Khaliknya. Hijab mempresentasikan konsep diri, dan sekaligus harga diri seseorang yang tidak boleh diusik. Hijab bagi muslimah adalah kewajiban (QS. al-A’raf[7]: 26, QS. al-Ahzab [33]: 33 & 59, QS. an-Nuur [24]: 31), bukan pilihan atau sekadar gaya hidup.
Berbekal keyakinan inilah, kita dapat mencermati setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, yang berusaha memalingkan kewajiban ini akan menimbulkan reaksi begitu masif. Semakin kuat upaya membatasi muslimah untuk menjalankan kewajibannya itu, semakin kuat pula upaya menolaknya. Muncul sosok-sosok yang berani membela atau menginspirasi gerakan untuk menentangnya.
Lihat saja ketika muslimah di Perancis diancam dikenai denda jika mengenakan hijab di ruang publik, muncul sosok Rasyid Nikaz. Pengusaha Perancis keturunan Aljazair ini dengan lantang menentang kebijakan itu. Bahkan ia tidak segan-segan mengatakan akan membayar sendiri setiap dendanya. Suatu pembelaan luar biasa atas nama keimanan yang dimiliknya.
Dalam konteks di negeri kita sendiri, awal tahun 1980-an menjadi tonggak bersejarah. Pemicunya adalah pelarangan jilbab di sekolah oleh pemerintah. Kebijakan tersebut menuai reaksi yang keras dari masyarakat. “Revolusi hijab’ pun dimulai, yang dampaknya terasa hingga saat ini. Hijab menjadi busana familiar untuk dikenakan oleh muslimah. Bahkan, mereka yang sebelumnya anti terhadap hijab, mulai mengubah sikapnya.
Adapun contoh yang lebih luas lagi (skala internasional), kita dapat melihatnya pada sosok Nazma Khan dan Marwa al-Sharbini. Keduanya menjadi icon digagasnya perayaan Hari Hijab Dunia. Hari yang menjadi bukti kepedulian dan solidaritas seluruh warga dunia (muslim dan non-muslim) untuk menyuarakan satu suara, bahwa hijab adalah hak asasi seorang muslimah. Identitasnya di mata Allah dan sesama manusia. Khusus untuk nama yang pertama (Nazma Khan), kiprahnya begitu menginspirasi hingga melahirkan Hari Hijab Dunia (World Hijab Day) setiap tanggal 1 Februari.
Penggagas Hari Hijab Dunia
Nazma Khan tidak pernah mengira, jika pengalaman pahitnya berhijab kini berbuah manis. Jilbab atau hijab yang ia kenakan, yang sebelumnya jadi pemicu berbagai perlakuan diskriminatif kepadanya, malah membuatnya menjadi pencetus gagasan Hari Hijab Dunia (World Hijab Day). Yakni suatu hari pada awal Februari (tanggal 1), saat jutaan orang di seluruh dunia merayakannya.
Dara kelahiran Bangladesh ini, pindah ke Amerika Serikat (AS) saat berusia 11 tahun. Saat itu ia telah berhijab. Namun, lingkungan tempat tinggalnya di Bronx, New York, tergolong anti terhadap simbol-simbol Islam. Apalagi Nazma merupaan satu-satunya yang berhijab saat belajar di sekolah menengah. Jadilah ia dibully, baik di sekolah maupun dari orang-orang di sekitar kediamannya. Tidak jarang Nazma mengalami teror verbal (umpatan/hinaan) dan fisik.
Hidup dalam lingkungan yang tidak kondusif, bahkan memusuhi perempuan muslim yang berhijab, tidak lantas membuatnya terpuruk. Sebaliknya, Nazma berusaha mendobrak paradigma bahwa hijab tidak identik dengan perbuatan atau sikap barbar (teroris). Nazma berusaha menyuarakan gagasan jika hijab merupakan simbol keyakinan dan identitas seorang muslimah.
Tidak disangka, gagasannya memperoleh sambutan dunia. Tanggal 1 Februari 2013 menjadi hari bersejarah bagi Nazma. Ia menginisiasi gerakan Hari Hijab Dunia. Saat itu, ada puluhan ribu orang dari 50 negara berdiri di belakangnya. Bahkan tidak sedikit perempuan non-muslim yang turut mengenakan hijab. Mereka melakukannya karena didasari rasa solidaritas dan menyetujui gagasan bahwa hijab adalah hak asasi seorang muslimah. (Suhendri Cahya Purnama)
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Berhijab-bukanlah-Pilihan
Posting Komentar