Masih ingatkah saat kita dahulu ikut ujian di sekolah? Ada rasa khawatir, cemas dan takut jika tidak naik kelas atau tidak lulus. Bahkan bagi yang pintar sekalipun. Akibatnnya kita jadi lebih bersungguh-sungguh belajar.
Demikian pula karyawan yang akan melaporkan pekerjan kepada atasan. Ada rasa khawatir, cemas dan takut jika laporannya tidak diterima. Akibatnya ia membuat laporan dengan sebaik-baiknya. Tetapi apakah ada rasa khawatir, cemas dan takut jika amal kita tidak diterima Allah? Perasaan yang membuat kita termotivasi untuk beramal lebih banyak, berkualitas dan istiqamah?
Dalam mengabdi kepada Allah, bukan sekadar menumpuk-numpuk amal, namun harus rajin mengevaluasi amal. Sering-seringlah bertanya ke dalam hati, “Apakah amal saya diterima Allah?” Jangan pernah merasa puas dan cukup dengan amal yang sudah dilakukan. Mengapa? Karena tidak semua amal itu diterima Allah.
Belajarlah dari profil orang yang yang diputuskan Allah masuk neraka, padahal selama di dunia, amal yang ditampilkan mereka termasuk amalan ahli surga. Sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan, ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Manusia pertama yang diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid didatangkan di hadapan Allah. Kemudian ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya dan ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Aku berperang demi membela agamamu.’ Allah berfirman, ‘Kamu bohong, kamu berperang supaya orang-orang menyebutmu sang pemberani.’ Kemudian Allah memerintahkn agar amalnya dihitung di hadapan pengadilan-Nya, akhirnya ia dilempar ke neraka. Seorang penuntut ilmu dengan mengamalkan ilmunya dan rajin membaca al-Quran, didatangkan di hadapan Allah. Lalu ditunjukkan segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya dan ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu, mengamalknnnya dan aku membaca al-Quran demi mencari rida-Mu.’ Allah berkata, ‘Kamu bohong, kamu mencari ilmu supaya orang lain menyebutmu orang alim, dan kamu membaca al-Quran supaya orang lain menyebutmu orang yang rajin membaca al-Quran.’ Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di pengadilan-Nya, akhirnya ia dilempar ke neraka. Selanjutnyaseorang yang memiliki kekayaan berlimpah dan terkenal karena kedermawanannya. Ia didatangkan di hadapan Allah. Kemudian ditunjukkn segala kenikmatan yang telah diberikan kepadanya dan ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia?’ Ia menjawab, ‘Semua kekayaan yang aku punya tidak aku sukai kecuali aku sedekah karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu bohong, kamu melakukan itu semua agar orang menyebutmu orang dermawan dan murah hati.’ Kemudian Allah memerintahkan agar amalnya dihitung di hadapan pengadilan-Nya, akhirnya ia dilempar ke neraka.” Abu Hurairah berkata, “Kemudian Rasulullah menepuk pahaku seraya berkata, ‘Wahai Abu Hurairah mereka adalah manusia pertama yang merasakan panasnya api neraka Jahanam di hari kiamat nanti.” (HR. Muslim).
Hadis ini seharusnya membuat kita benar mengevaluasi amal-amal yang telah dilakukan. Banyaknya amal tersebut benarkah karena Allah dan hanya untuk Allah? Apa sebenarnya yang kita harapkan dari amal-amal itu?
Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti terhadap kalian adalah syirik kecil.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa syirik kecil itu ya Rasul?’ Beliau menjawab, ‘Riya. Di hari kiamat nanti tatkala seluruh manusia dibalas atas amal-amalnya, Allah akan berfirman kepada mereka, ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu kalian ingin dilihat oleh mereka ketika di dunia, apakah kalian akan mendapatkan balasan dari mereka?” (HR. Ahmad).
Beramal karena Allah dan hanya untuk Allah, serta sesuai dengan yang Rasulullah ajarkan. Seharusnya hal itu akan berdampak pada ketaatan yang lebih kuat kepada Allah. Coba kita evaluasi, apakah setelah Ramadan berlalu amal-amal selama bulan suci tersebut tetap dilakukan? Apakah setelah umroh atau haji, keyakinan kepada Allah bertambah? Apakah setelah mengikuti majelis ilmu, maka kita lebih mampu menjaga lisan? Apakah setelah salat berjamaah, kita mampu memelihara persaudaraan?
Apakah membaca al-Quran mampu lebih berhati-hati terhadap yang bukan haknya (wara’)? Dan amalan-amalan lainnya, apakah berdampak pada perubahan akhlak menjadi lebih baik? Seolah-olah ada “magnet” untuk terus beramal dengan kualitas yang lebih baik, istiqamah dalam taat kepada Allah, dan terus semangat memperbaiki diri. Berhati-hatilah jika terus menumpuk-numpuk amal, tapi masih bermaksiat dan tidak bedampak pada kemuliaan akhlak. Jangan-jangan ada masalah dengan amal yang telah kita lakukan.
Renungkanlah firman Allah SWT dalam surah al-Furqon [25] ayat 23, “Dan Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu akan kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.”
Periksalah hati, adakah rasa khawatir, cemas dan takut jika amal tidak diterima Allah? Hal yang membuat kita selalu merasa kurang amal dan segera menutupnya dengan semakin taat kepada Allah. Kondisi hati seperti ini bukanlah su’uzon kepada Allah, tapi perasaan sebagaimana kita khawatir tidak naik kelas atau tidak lulus saat ikut ujian, sehinga termotivasi untuk giat belajar. Abu Hurairah menangis ketika akan wafat, karena merasa amalnya sangat sedikit, dan apakah akan ke neraka atau ke surga.
Perangilah godaan bisikan setan di hati seakan-akan amal yang dilakukan sudah cukup dan merasa yakin diterima Allah. Untuk itu, Rasulullah saw mengajarkan agar selalu berdoa, “Allahumma inni nasaluka ‘ilmn nafi’an...”
Setelah beramal seharusnya lebih banyak memikirkan dosa diri, terus bert0bat, suka melakukan amalan sunah, ringan menambah amal, dan banyak berdoa karena berharap amal diterima Allah. Pada ujungnya berbuah keyakinan yang penuh kepada Allah, mencintai Allah sehingga selalu ikhlas dalam beramal.Wallahu’alam bisawab. (Khairati)
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Diterimakah-Amal-Kita
Posting Komentar