Islam telah menanggung nafkah seorang perempuan sejak lahir sampai tua renta dan tak berdaya, bahkan sampai mati. Islam memerintahkan orangtua untuk menafkahi perempuan ketika dia masih kecil. Lalu memerintahkan suaminya untuk menafkahinya saat dia menjadi isteri. Selanjutnya memerintahkan anak-anaknya untuk menafkahinya ketika dia sudah uzur. Jadi, dia tidak perlu lagi bekerja keras dalam setiap fase kehidupannya.
Pada saat yang sama, Islam membolehkan perempuan untuk bekerja jika memang benar-benar dibutuhkan dan mendesak agar tidak menjadi beban bagi orang lain. Sehingga dia bisa menghasilkan harta yang diperlukan untuk kebutuhan hidup dan keluarga yang ditanggung, jika dia menanggung keluarga yang memang sudah tidak mampu.
Bahkan mungkin, pekerjaan yang digeluti memang dituntut oleh agama, seperti di bidang-bidang tertentu yang khusus bagi perempuan, yakni menjadi guru, penulis, dokter kandungan atau bidan misalnya. Jadi, boleh bekerja pada bidang-bidang tertentu yang sesuai dengan keperempuanannya dan tidak mengandung unsur maksiat kepada Allah SWT.
Syarat dan Pengecualian
Islam menetapkan sejumlah persyaratan dan pengecualian bagi kaum perempuan dalam berkarir karena ingin melindungi kehormatan, dan kemuliaannya. Kemudian juga untuk mengangkat kedudukannya, dan membentenginya agar tidak terserang penyakit atau menderita kelelahan yang mengakibatkan tidak sanggup menunaikan kewajiban yang sesuai dengan kodrat penciptaannya.
Islam membebaskan perempuan dari beragam pekerjaan berat yang sulit dikerjakan karena bisa membahayakan tubuhnya, dan bertentangan dengan keperempuanannya. Pekerjaan berat tersebut adalah pekerjaan yang seharusnya ditekuni kaum pria, seperti tukang bangunan, pandai besi, dan lain sebagainya.
Dalam berkarir, ada syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perempuan. Jika tidak, dia pasti berdosa dan akan dihukum pada hari kiamat. Syaratnya adalah profesinya tidak mengandung pekerjaan yang dilarang Allah SWT, seperti: (1) Berbaur dengan kaum laki-laki. (2) Melepaskan jilbab dihadapan kaum laki-laki. (3) Berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. (4) Keluar rumah dengan memakai parfum. (5) Bekerja tanpa izin wali, baik orangtua, suami, maupun yang lain. (6) Pekerjaan itu bisa melalaikan kewajibannya terhadap suami, anak, dan rumah.
Meneladani Siti Khadijah
Rasulullah saw punya seorang isteri yang tidak hanya berdiam diri serta bersembunyi di dalam kamarnya. Sebaliknya, dia adalah seorang perempuan yang aktif dalam dunia bisnis. Bahkan sebelum beliau menikahinya, beliau pernah menjalin kerja sama bisnis ke negeri Syam. Setelah menikahinya, tidak berarti isterinya itu berhenti dari aktifitasnya.
Bahkan harta hasil jerih payah bisnis Khadijah itu amat banyak menunjang dakwah di masa awal. Di masa itu, belum ada sumber-sumber dana penunjang dakwah yang bisa diandalkan. Satu-satunya adalah dari kocek seorang donatur setia yaitu isterinya yang pebisnis kondang.
Tentu tidak bisa dibayangkan kalau sebagai pebisnis, sosok Khadijah adalah tipe perempuan rumahan yang tidak tahu dunia luar. Sebab bila demikian, bagaimana dia bisa menjalankan bisnisnya itu dengan baik, sementara dia tidak punya akses informasi sedikit pun dari balik tembok rumahnya.
Disini kita bisa memahami bahwa seorang isteri nabi sekali pun punya kesempatan untuk keluar rumah mengurus bisnisnya. Bahkan, meski telah memiliki anak sekalipun. Sebab, sejarah mencatat bahwa Khadijah dikaruniai beberapa orang anak dari Rasulullah saw. Semoga kita bisa semakin bijak menyikapi fenomena perempuan berkarir saat ini dengan mengacu pada nilai-nilai Islam. (Cristi Aningsih Sarif)
https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Mencermati-Fenomena-Perempuan-Karir-dalam-Islam
Posting Komentar