Seandainya Semua Kaya

Saudaraku, kita misalkan warga Bandung berjumlah kurang lebih tujuh juta jiwa. Sore ini, seluruhnya diajak berkumpul di Gasibu. Bersama-sama berdoa kepada Allah supaya setiap orang di Bandung diberi 100 milyar. Lalu, doa ini dikabulkan oleh Allah, dan uangnya datang setelah Subuh. Kira-kira apa yang akan terjadi?
Berapa banyak saudara kita yang bisa meninggal? Seperti jantungan karena melihat uang 10 juta saja jarang. Belum lagi hewan-hewan ternak yang terpaksa tidur di halaman, disebabkan kandangnya diisi uang oleh sang tuan yang rumahnya tidak muat.
Bagi yang mau berangkat ke sekolah sudah bergaya. Yang biasanya berpamitan kepada “emak”, sudah memanggil “Mami i am going to school.” Bisa saja, sebab sebelumnya dia dan emak suka berebut sinetron favorit. “Ini buat jajan,” kata mami memberi segepok uang. “No, mam!” si anak menolak sambil menunjukkan tas sekolahnya yang penuh uang.
Sampai di tepi jalan raya, dilihatnya angkot sudah diparkir menumpuk. Kata para supirnya, “Kalau mau ke sekolah pilih saja angkotnya dan bawa sendiri, kami sedang sibuk pesan mobil balap.” Begitu dengan tukang becak yang bergembira menginjak-injak becaknya. “Masa lalu,” kata mereka. Lalu dihampiri tukang ojek. “Dik, pakai motor saya saja, tapi ambil di pinggir sawah sana dan bersihkan sendiri. Nggak usah dibalikin, saya sudah pesan motor cross terbaru.”
Siapa lagi yang mau jadi tukang ojek, becak, dan angkot kalau sudah punya 100 milyar? Sehingga berangkatlah ke sekolah dengan berjalan kaki, dan makin capek karena juga membawa tas penuh uang. Waktu itu mungkin aman saja di jalanan, sebab para perampok juga sudah kaya.
Singkat cerita sampailah anak itu di sekolah. Kemudian langsung menuju warung. “Bi, jualan apa hari ini?” Si bibi mendadak sewot, “Mana bibi? Panggil saya tante. Tidak ada apa-apa hari ini, kalau mau makan tunggu sebulan lagi. Tante lagi nyiapin restoran.” Para guru juga datang hanya untuk berpamitan. “Anak-anak, bapak dan ibu guru berharap mulai sekarang kalian bisa belajar mandiri. Kami telah mengajukan pensiun dini, karena akan membuat sekolah sendiri-sendiri.”
Anak itu dengan rasa lelah dan lapar lalu berjalan pulang. Karena tenaganya sudah benar-benar terkuras, akhirnya duduk di atas trotoar sebelum tanjakan. Tiba-tiba ayah menelpon, “Kamu di mana? Tolong bantu, ayah kehabisan bensin. Pom bensin tutup, tidak ada lagi yang mau jaga. Padahal mamimu minta ayah ke luar kota untuk membeli sayur. Di Bandung sudah tidak ada yang mau jadi tukang sayur.”
Nah, saudaraku. Bagaimana kira-kira kesimpulannya? Seandainya semua kaya, maka Bandung akan benar-benar kacau. Gubernur pun jadi menyapu dan mengepel lantai kantornya sendiri. Karena jangankan tukang sapu, sangat mungkin semua PNS di sana juga sudah memecat dirinya sendiri.
Itu baru dimisalkan dengan warga Bandung, bagaimana kalau se-Indonesia yang kaya? Benar-benar kacau dan lumpuh di mana-mana. Bahkan seandai warga sebuah desa saja yang kaya semuanya, maka kehidupan desa itu pun bisa kacau dan hancur.
Lalu, ada cerita lainnya lagi tentang seseorang yang doanya mustajab. Ia tidak tega melihat petugas sampah, tukang jahit keliling yang bersepeda, dan profesi semacamnya di sebuah desa. Kemudian ia berdoa, “Ya Allah, jangan biarkan mereka miskin.”
Suatu waktu ia datang kembali ke desa itu. Dilihatnya bangunan sudah bertingkat-tingkat dan megah, semuanya kaya dan makmur. Tapi desanya kotor karena tidak ada tukang sampah. Pakaian mereka robek karena tidak ada tukang jahit. Rambut mereka gondrong karena merasa rugi dengan tarif satu milyar untuk sekali bercukur. Sehari-hari, warga desa tadi lebih memilih berada di rumah. Sebab di sepanjang jalan ramai berdatangan orang-orang dari daerah lain, yang sok kenal dan berharap kecipratan kaya.
Jadi, mohon maaf kalau berulang kali saya kemukakan, tidak penting menjadi orang kaya. Jangan kagum pada perkataan kaya. Jangan minder melihat atau bertemu orang kaya. Jangan lagi tertarik membicarakan tentang bagaimana jadi kaya. Karena kaya itu baunya saja sudah pengap dengan bau nafsu.
Tentu saja tidak dilarang kalau kita mau menjadi kaya dengan niat, upaya dan penggunaan yang baik dan benar. Tetapi, sebetulnya masing-masing kita juga sudah ada garisnya. Allah Yang Mahabaik lebih mengetahui tentang apa yang terbaik bagi diri kita. Hanya Dia yang benar-benar menginginkan kita menjadi lebih baik.
Islam mengajarkan qana’ah. Bahwa yang penting itu cukup, dan cukup itu terukur. Bayangkan mana yang lebih baik, antara banyak tidur dan tidur yang cukup? Pasti lebih baik yang cukup. Kalau banyak tidur, besar kemungkinan sedang mengigau saat orang salat Subuh. Orang-orang salat Zuhur, bisa jadi masih terus asik di alam mimpi. Ketika tiba-tiba terbangun sudah gelap. Tidak ada lagi suara azan Magrib, kecuali mungkin suara jangkrik di kuburan. (KH. Abdullah Gymnastiar)


https://dpu-daaruttauhiid.org/web/article/detail/Seandainya-Semua-Kaya