Siapakah Khadijah? Dia adalah Khadijah seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang atau melantik orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendaki. Namun selalu ditolaknya dengan halus karena tak ada yang berkenan di hatinya.
Bermimpi Melihat Matahari Turun ke Rumah
Pada suatu malam Khadijah bermimpi melihat matahari turun dari langit. Masuk ke dalam rumahnya serta memancarkan sinar merata ke semua tempat, sehingga tiada sebuah rumah di kota Mekah yang luput dari sinarnya.
Mimpi itu diceritakan kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal. Dia seorang lelaki berumur lanjut. Ahli dalam mentakbirkan mimpi dan sejarah bangsa-bangsa purba. Waraqah juga mempunyai pengetahuan luas dalam agama yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu.
Waraqah berkata, “Takwil dari mimpimu itu ialah bahwa engkau akan menikah kelak dengan seorang Nabi akhir zaman.”
“Nabi itu berasal dari negeri mana?” tanya Khadijah bersungguh-sungguh.
Dari kota Mekah ini!” ujar Waraqah singkat.
“Dari suku mana?” tanya Khadijah.
Dari suku Quraisy juga,” jawab Waraqah.
Khadijah bertanya lebih jauh, “Dari keluarga mana?”
“Dari keluarga Bani Hasyim, keluarga terhormat,” kata Waraqah dengan nada menghibur.
Khadijah terdiam sejenak, kemudian tanpa sabar meneruskan pertanyaan terakhir, “Siapakah nama bakal orang agung itu, hai sepupuku?”
Orang tua itu mempertegas, “Namanya Muhammad. Dialah bakal suamimu!”
Khadijah pulang ke rumah dengan perasaan yang luar biasa gembiranya. Belum pernah ia merasakan kegembiraan sedemikian hebat. Maka sejak itulah Khadijah senantiasa bersikap menunggu dari manakah gerangan kelak munculnya sang pemimpin itu.
Lamaran Khadijah kepada Rasulullah
Muhammad al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata, “Hai al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!” (Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi tahu harga dirinya).
Muhammad saw berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti, “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu.” (Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban)
Khadijah berkata dalam hati, “Oh, itukah….! Lalu ia berkata, “Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan. Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu.” (Ia berhenti sejenak, meneliti).
Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat, “Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang perempuan bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu.”
Khadijah tertunduk lalu melanjutkan, “Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu.”
Pemuda al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawapan, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran al-Amiin (jujur). Pemuda al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah. Rasulullah saw minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan. Ia menceritakan kepada pamannya.
Rasulullah, “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini dan itu, anu dan anu….” Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu.
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya, “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya.”
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah dan terus menegurnya, “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kami pun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?”
Khadijah terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah. Khadijah berkata, “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya. Kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati.”
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua perempuan bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?” tanya ‘Atiqah sambil meneruskan, “Kalau belum cobalah meminta persetujuannya.” “Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majelis lamaran.” Khadijah berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang nabi akhir zaman.
‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya, Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah. “Itu bagus sekali,” kata Abu Thalib, “Tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad lebih dulu.”
Khadijah yang Cantik
Sebelum diajak bermusyawarah, maka terlebih dahulu ia pun telah menerima seorang perempuan bernama Nafisah, utusan Khadijah yang datang untuk menjalin hubungan kekeluargaan. Utusan pribadi Khadijah itu bertanya, “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Muhammad menjawab, “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah berkata, “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
“Siapakah dia?” tanya Muhammad.
“Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Usaha Nafisah berhasil. Ia meninggalkan putera utama Bani Hasyim dan langsung menemui Khadijah menceritakan kesediaan Muhammad. Setelah Muhammad menerima pemberitahuan dari saudara-saudaranya tentang hasil pertemuan dengan Khadijah, maka beliau tidak keberatan mendapatkan seorang janda yang usianya lima belas tahun lebih tua daripadanya.
Betapa tidak setuju, apakah yang kurang pada Khadijah? Ia perempuan bangsawan, cantik, hartawan, budiman. Dan yang utama karena hatinya telah dibukakan Tuhan untuk mencintainya, telah ditakdirkan akan dijodohkan dengannya. Kalau dikatakan janda, biarlah! Ia memang janda umur empat puluh, tapi janda yang masih segar, bertubuh ramping, berkulit putih dan bermata jeli. Maka diadakanlah majelis yang penuh keindahan itu.
Hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan perempuan yang berkenaan.
Pernikahan Muhammad dengan Khadijah
Khadijah diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah, “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas.”
“Benar katamu, Khadijah, hanya saja ia tak berharta,” ujar Waraqah.
“Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya,” demikian Khadijah menyerahkan urusannya.
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar yang kelak mendapat sebutan ‘ash-Shiddiq’, sahabat akrab Muhammad sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung. Apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Peristiwa pernikahan Muhammad dengan Khadijah berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad.
Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut, “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. Begitupun kita memuji Allah SWT yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.”
“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.”
“Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperoleh berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. Semoga Allah memberkati pernikahan ini.”
Penyambutan untuk memeriahkan majelis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Selesai upacara dan tamu-tamu bubar, Khadijah membuka isi hati kepada suaminya dengan ucapan, “Hai al-Amiin, bergembiralah! Semua harta kekayaan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang terdiri dari bangunan-bangunan, rumah-rumah, barang-barang dagangan, hamba-hamba sahaya adalah menjadi milikmu. Engkau bebas membelanjakannya ke jalan mana yang engkau ridhai!”
Itulah sebagaimana Firman Allah SWT yang bermaksud, “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan.” (QS. adh-Dhuhaa: 8). Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita.
(Muhammad Ibrahim Saliim ‘Tokoh-tokoh Wanita di Sekitar Rasulullah SAW’ dengan beberapa perubahan)
Posting Komentar